MEDAN- Malaria menjadi tantangan besar bagi Indonesia yang berada pada peringkat kedua dalam jumlah kasus malaria di Kawasan Asia Tenggara. Beberapa daerah termasuk Provinsi Sumatera Utara termasuk dalam wilayah endemis malaria yang harus segera dieliminasi.
Direktur Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI, Dr. Ina Agustina Isturini, MKM memaparkan tentang Strategi dan Kebijakan Nasional Eliminasi Malaria 2030, dalam webinar dengan tema ‘Malaria Berakhir Bersama Kita: Kolaborasi Sumut untuk Eliminasi 2030’, Jumat (25/4/2025).
Dikatakannya, bahwa sebanyak 401 kabupaten/kota di Indonesia telah mencapai status bebas malaria. Namun, tantangan terbesar masih terletak di beberapa daerah endemis tinggi, terutama di Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mencatatkan angka kasus tertinggi. “Di Papua, sekitar 93% kasus malaria di Indonesia ditemukan. Hal ini menunjukkan beban yang sangat berat di wilayah tersebut,” ungkapnya.
Ada 4 parameter terukur untuk mencapai target eliminasi penyakit malaria yaitu pertama menjamin akses universal terhadap pencegahan diagnosis dan pengobatan, mempercepat upaya menuju eliminasi dan pencapaian status bebas malaria serta survei malaria itu harus diperkuat yang menyebabkan survei lancar.
“Ini harus menjadi intervensi utama karena kalau malarianya tidak terdeteksi tidak bisa diobati dan individu yang terinfeksi akan terus menyebabkan transmisi di dalam lingkungan sehingga kontrol akan menjadi sulit,” ujarnya.
Dijelaskannya, pemerintah Indonesia menargetkan eliminasi malaria pada 2030, dengan rencana untuk menurunkan angka insiden malaria hingga 90% dan angka kematian hingga 90% pada seluruh kabupaten/kota. Dengan kebijakan yang tercantum dalam Permenkes No. 22 Tahun 2022, Indonesia berfokus pada pencegahan, deteksi, dan respon yang lebih cepat.
“Pencegahan dilakukan melalui promosi kesehatan masyarakat, penggunaan kelambu berinsektisida, dan profilaksis malaria untuk mereka yang bekerja di daerah endemis,” jelas dr. Ina. Selain itu, deteksi aktif dan pasif juga merupakan kunci penting, dengan upaya survei di daerah rawan seperti Papua, yang mencatat banyak kasus tanpa gejala.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Destanul Aulia, SKM, MBA, MEc, Ph.D., menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam upaya eliminasi malaria di Indonesia. Dalam paparannya pada webinar bertema “Peran Kolaboratif Lintas Sektor dalam Eliminasi Malaria”, Destanul menggambarkan kenyataan pahit yang masih dihadapi sebagian besar masyarakat di wilayah-wilayah endemis, seperti Kepulauan Nias di Sumatera Utara.
“Saat malam tiba, anak-anak di desa menangis karena demam tinggi. Listrik hanya hidup beberapa jam. Untuk menuju puskesmas harus naik motor melewati hutan atau menyewa perahu—itu pun kalau cuaca bersahabat,” ungkapnya.
Destanul menyoroti bahwa hingga kini terdapat delapan daerah di Sumatera Utara yang masih tergolong endemis malaria, seperti Kabupaten Batu Bara, Nias, Asahan, dan sekitarnya. Menurutnya, malaria bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga berdampak pada sektor pendidikan dan ekonomi masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa penyebab malaria bersifat kompleks, bukan sekadar karena gigitan nyamuk. Faktor lingkungan, perilaku, literasi kesehatan, kemiskinan, hingga akses terhadap layanan kesehatan turut memperburuk penyebaran penyakit ini.
“Rumah tanpa kelambu, ventilasi buruk, minimnya akses pengobatan, dan mobilitas tinggi antarwilayah memperbesar risiko penyebaran. Bahkan praktik pengobatan tradisional tanpa diagnosis memperburuk kondisi pasien,” jelasnya.
Destanul menyampaikan bahwa untuk mengeliminasi malaria tidak cukup hanya dengan intervensi sektor kesehatan. Dibutuhkan keterlibatan sektor pendidikan, infrastruktur, lingkungan hidup, hingga sektor swasta. Ia mencontohkan bahwa tanpa jalan yang layak, masyarakat tetap sulit mengakses layanan meskipun obat tersedia.
Dalam pemaparannya, Destanul menggarisbawahi pentingnya pendekatan One Health, yaitu sinergi antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Ia menekankan bahwa malaria bukan hanya masalah medis, tetapi juga bagian dari ekosistem kehidupan yang saling mempengaruhi.
“Pengendalian malaria bukan hanya memberi obat, tapi juga menyasar perubahan lingkungan, edukasi masyarakat, serta penguatan sistem kesehatan lokal. Curah hujan, ‘hilangnya’ hutan, dan pola pertanian semua berkontribusi terhadap habitat nyamuk,” ujar Destanul.
Namun, menurutnya, meskipun istilah seperti “kolaborasi” dan “sinergi” kerap diucapkan, realisasinya di lapangan masih minim. Berdasarkan laporan Badan Litbangkes dan Kementerian Kesehatan, keterlibatan sektor non-kesehatan dalam pengendalian malaria masih sangat terbatas.
“Sektor pertambangan, pertanian, pekerjaan umum, bahkan perencanaan daerah berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada koordinasi efektif. Contohnya Dinas PU hanya fokus pada drainase di kota, tanpa mempertimbangkan kantong-kantong malaria di wilayah terpencil,” kata Destanul.
Menurut Destanul, kolaborasi harus menjadi bagian dari sistem perencanaan dan penganggaran lintas sektor untuk mengeleminasi malaria, sejalan dengan visi dan misi Gubernur Sumatera Utara yang baru, Bobby Afif Nasution, yaitu “Sumut BERKAH: Unggul, Maju, dan Berkelanjutan”.
“Dalam kepemimpinan Gubernur Bobby Nasution, kesehatan harus menjadi prioritas. Tidak cukup sekadar berbagi peran, tapi harus ada sistem pelaporan, perencanaan bersama, dan akuntabilitas lintas sektor,” ujarnya.
Ia juga menekankan, keberhasilan kolaborasi sangat bergantung pada share vision, transparansi, peran yang jelas, komunikasi terbuka, serta evaluasi yang dilakukan bersama.
“Contohnya, Dinas Kesehatan fokus pada diagnosis dan pengobatan, Dinas PU pada perbaikan saluran air dan jalan, Dinas Pendidikan menyisipkan edukasi malaria di sekolah, sektor swasta menyediakan logistik, dan pelaporan kasus dilakukan terpadu. Tapi semuanya harus berjalan dalam satu sistem,” tutupnya.
Webinar yang dibuka secara resmi oleh Husein Habsyi, Pengurus Pusat (PP) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dihadiri juga pemateri lainnya seperti H. Muhammad Faisal Hasrimy, AP, M.AP (Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara), dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis, PGDip PID M.Ked (Ped), Sp.A, Ph.D (Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama dan Informasi FK USU), dan dr. Deni Syahputra (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batu Bara).(eb-01)