Nantinjo duduk bersimpuh di antara keempat kakaknya yang berdiri berjejer. Mengenakan gaun putih yang sama dengan Boru Pareme, anak bungsu Guru Tatea bulan ini memandang lurus ke arah depan. Dia selalu menanti keturunannya datang, mendengarkan kisahnya, meminta pertolongan dan perlindungan kepadanya.
Seperti itulah sosok Nantinjo direpresentasikan dengan patungnya yang dapat dilihat di Sopo Guru Tatea Bulan yang berlokasi di Pusuk Buhit. Nantinjo merupakan transgender pertama dari keturunan silsilah Raja Batak. Dia disebut sebagai si dua jambar.
“Dalam silsilah Raja Batak, boru Nantinjo ini memiliki legenda sendiri. Kisah hidupnya pilu. Dia transgender dan disebut si dua jambar. Tapi dia memiliki kekuatan supranatural, namboru (bibi) dapat berkomunikasi langsung dengan Debata (Tuhan),” ujar Tetti Naibaho, Kabid Seni Budaya, Museum dan Kepurbakalaan, Dinas Kebudayaan dan Pemuda Olahraga Samosir.
Pengunjung yang datang ke Sopo Guru Tatea Bulan terutama keturunannya, lanjut Tetti sangat antusias terhadap silsilah Raja Batak. Hal ini karena masyarakat Batak menyakininya sebagai asal muasal keturunan mereka.
Raja Batak memiliki dua keturunan yakni Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Mengutip buku ‘Tarombo Marga ni Suku Batak’ karangan W Hutagalung (1991), Guru Tatea Bulan dengan istrinya Si Boru Baso Burning mempunyai sembilan orang anak. Lima orang laki-laki yakni Raja Biak-biak, Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja. Empat orang puterinya yakni si Boru Pareme, si Boru Anting Sabungan, Boru Biding Laut dan Boru Nantinjo. Namun pada literatur lain, ada yang menyebutkan Guru Tatea Bulan memiliki 10 orang anak, lima laki-laki dan lima orang perempuan. Seorang anak perempuannya yang lain bernama Siboru Paromasan (Sibunga Haomasan) yang merupakan kakak Nantinjo.
Dalam legendanya, Nantinjo disebut si dua jambar lantaran dia lahir ke dunia dalam keadaan yang bukan sebagai perempuan dan juga bukan sebagai lelaki. Kisah hidup Nantinjo memilukan. Ketika usianya sepuluh tahun, kedua orangtuanya meninggal. Nantinjo terpaksa tinggal bersama abangnya Limbong Mulana, karena ketika itu yang tinggal di kampung hanya tiga abangnya yakni Limbong Mulana, Sagala Raja serta Lau Raja, sedangkan abangnya Raja Gumeleng-geleng (Raja Uti) telah pergi dibawa oleh yang kuasa ke puncak Pusuk Buhit. Sedangkan abangnya Saribu Raja telah merantau dan tidak diketahui di mana keberadaannya, karena memiliki skandal cinta dengan adiknya sendiri Siboru Pareme. Saribu Raja dan Siboru Pareme ini lahir kembar dampit (marporhas).
Nantinjo mengalami penderitaan ketika tinggal bersama abangnya, dia harus bertanggung jawab mengurus rumah, mengasuh anak-anak serta mencari bahan makanan ke hutan. Nantinjo juga sering mendapat hukuman dari abangnya kalau melakukan kesalahan, untuk melepaskan kesedihannya, Nantinjo selalu menyanyi dan menenun.
Seiring waktu, Nantinjo menjadi remaja dan dari perawakannya terlihat anggun, cantik dan bersahaja. Nantinjo pun menjadi gadis pujaan semua lelaki baik di kampungnya maupun kampung seberang Danau Toba. Seorang pemuda dari perkampungan (huta) Silalahi sangat tertarik kepada Nantinjo dan ingin menjadikannya sebagai pendamping seumur hidup. Pemuda itu pun bersama keluarganya kemudian mendatangi abang Nantinjo untuk melamarnya.
Sadar akan dirinya yang tidak sempurna dari pandangan sosial, Nantinjo berusaha untuk menolak lamaran tersebut. Nantinjo memberikan syarat kepada pemuda tersebut yakni harus menyediakan emas serta uang satu perahu. Pemuda tersebut dan keluarganya pun menyetujui. Kemudian kembali datang dengan membawa syarat tersebut. Abangnya Limbong Mulana akhirnya meminta agar Nantinjo menerima lamaran tersebut.
Dengan hati hancur Nantinjo akhirnya menerima lamaran pemuda itu, dan meminta agar abangnya mengumpulkan semua yang menjadi barang miliknya termasuk alat yang selalu dipakainya bertenun. “Bambu turak dan tempat benang tenunku tolong tanamkan di ujung desa ini, suatu saat nanti keturunan Bapak dan Ibuku akan melihat dan mengingat saya yang penuh dengan penderitaan,” pesan Nantinjo.
Nantinjo pun menaiki perahu dan meninggalkan kampung mengikuti rombongan calon suaminya. Selama di perjalanan Nantinjo sangat gusar, dia tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi setelah sampai di kampung calon suaminya. Dia berseru kepada ibunya Si Boru Baso Burning dan meminta kepada yang kuasa untuk dipersatukan bersama ibunya. Seketika keajaiban terjadi. Hujan turun, angin dan badai menerjang perahu Nantinjo dan akhirnya Nantinjo tenggelam dan meninggal dunia. Lokasi di mana tenggelamnya kapal Nantinjo kemudian disebut pulau Tao/Malau.
Bagi sebagian masyarakat Batak, terutama keturunan Guru Tatea Bulan meyakini boru Nantinjo masih hidup hingga sekarang. Boru Nantinjo turun ke bumi untuk melihat keturunan ibunya dengan menumpang ke tubuh orang (marhuta-hula). Tujuan Nantinjo kembali ke dunia adalah untuk mengobati, membantu orang yang meminta pertolongannya terlebih dari keturunan pomparan Guru Tatea Bulan/ Si Boru Baso Burning. Saat ini seorang yang tinggal di Cianjur, Jawa Barat bernama Nai Hotni Boru Sagala menjadi tempat masuknya roh Nantinjo (hasorangan). Nai Hotni merupakan hasorangan Nantinjo yang kelima.
Manguji Nababan, Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen menyebutkan kalau boru Nantinjo ini merupakan legenda atau folklore yang berdasar dari sumber lisan. Meski tidak bisa dibuktikan secara fisik, tapi cerita boru Nantinjo ini masih hidup hingga sekarang.
“Kita memang tidak bisa melihat secara langsung bagaimana sebenarnya boru Nantinjo ini. Terutama untuk melihat apakah benar dia adalah si dua jambar. Tapi berdasarkan informasi bahwa boru Nantinjo ini pernah reinkarnasi, melalui sosok penyandarannya yang ada di Jawa Barat, kita tahu kalau dia si dua jambar,” kata Manguji.
Manguji menyadari jika kisah boru Nantinjo ini direfleksikan pada situasi sekarang, di mana masyarakat hanya memandang biner seksualitas dan gender, tentu memang tidak menyukai adanya sesuatu yang dinilai abnormal. Nantinjo akan dipandang melanggar kodrat Tuhan. Tapi di sisi lain, lanjut Manguji, kisah Nantinjo adalah takdir Allah yang tidak bisa ditolak (dangboi ni elak). Bukan kutukan yang harus dikucilkan atau dihukum.
Kisah ini meski hanya folklore, tapi Manguji memiliki keyakinan kalau Nantinjo merupakan sosok setengah dewa. Sebab dia memiliki kekuatan supranatural. Bahkan hingga kini Nantinjo juga dipercaya sebagai penjaga Danau Toba dan masih hidup di pulau Malau.
“Meskipun sebuah legenda tapi dari sisi kebudayaan folklore ini memiliki nilai yang juga menjaga moral. Jadi bukan hanya pepesan kosong. Dia berguna untuk menjaga moral manusia sepanjang zaman. Seperti halnya kisah kakak dan abang Nantinjo yakni boru Pareme dan Sariburaja yang menjalin hubungan asmara (incest). Hingga saat ini masyarakat masih mempercayai jika memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan, mereka akan memisahkannya agar tidak terjadi kisah seperti boru Pareme dan abangnya,” papar Manguji.
Generasi muda Batak yang tinggal di Huta Tinggi, Stella Angelica Lumbangaol mengetahui kisah legenda Nantinjo dan silsilah Raja Batak dari cerita-cerita orangtua, terutama tentang kenapa harus ada silsilah marga di Batak. Menurutnya hal itu untuk dapat menjalin persaudaraan juga agar menghindari terjadinya pernikahan dengan sesama marga. “Waktu Sekolah Dasar kami diajarkan muatan lokal, aksara Batak termasuk silsilah marga dan legendanya,” ujar Mahasiswi Politeknik Pariwisata Medan ini.
Stella juga mengetahui kalau Nantinjo disebut sebagai si dua jambar. Namun menurut dia, hal itu merupakan hal yang alami dan sudah menjadi ketentuan Tuhan. Sehingga tidak seharusnya untuk dipertentangkan. Apalagi, Nantinjo merupakan sosok yang sangat dihormati masyarakat Batak karena memiliki kemampuan supranatural yang mampu mengobati dan menyembuhkan.
Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI), Pdt. Darwita Purba mengatakan, sebagian besar masyarakat Batak mempercayai legenda ini sebagai asal mula masyarakat Batak atau permulaan silsilah. Hal ini terbukti ketika orang Batak bertemu dengan orang Batak lainnya, mereka akan “martarombo” dengan mengikuti silsilah yang ada.
Begitu juga kemudian ketika agama masuk, terbentuk dualisme pandangan dalam masyarakat Batak. Satu sisi masyarakat Batak menganut agama tetapi di sisi lain tetap memegang kuat budaya mereka atau mempercayai asal mula orang Batak tersebut. “Seperti disebutkan oleh Raja Patik Tampubolon, masyarakat Batak kebanyakan seperti rel kereta api, di mana agama dan budaya berjalan bersamaan tetapi tidak bersentuhan,” ujar Darwita.
Darwita sendiri mengaku bersyukur dengan adanya legenda Nantinjo. Sebab pemahaman tentang keragaman gender dan seksualitas yang selama ini dianggap datang dari Barat, ternyata dapat dipatahkan, dan justru keragaman gender dan seksualitas ada di masyarakat Batak.
“Bagi saya, Nantinjo adalah sosok yang sempurna, sekalipun ia si dua jambar, itu adalah anugerah dari yang Maha Kuasa kepadanya. Justru saya melihat, bahwa Nantinjo memiliki keistimewaan sebagai si dua jambar, yakni ia seorang na siat marpangidoan to amanta debata pardenggan na basa in (orang yang dapat dikabulkan segala permintaanya kepada Tuhan). Jadi, Nantinjo sebagai si dua jambar memiliki ke-khusus-an, sebagai mediator manusia dengan yang Maha Kuasa,” papar Darwita.
Merujuk pada tafsir alkitab feminis kritis dengan menggunakan pendekatan hermeneutic, lanjut Darwita, melihat Nantinjo sebagai si dua jambar merupakan anugerah dari Allah. Tidak ada ayat khusus dalam Alkitab menyebutkan secara langsung tentang keragaman gender dan seksualitas, namun tidak ada juga ayat yang menyebutkan secara langsung bahwa keragaman gender dan seksualitas adalah jahat/dosa. Alkitab hanya mengajarkan tentang “kasih” yang tidak terbatas pada siapapun itu, tentu termasuk di dalamnya kepada orang dengan gender dan seksualitas yang non heteronormatif.
Menurut Darwita, masyarakat yang belum dapat menerima keberadaan si dua jambar, hal itu dikarenakan kurangnya pemahaman tentang SOGIESC (Sex Orientation, Gender Identity, Expression and Sex Characteristic), seandainya masyarakat paham dengan baik maka akan lebih mudah untuk menerima.
“Masyarakat sebaiknya menerima keragaman sebagai sebuah anugerah. Keragaman adalah cara Allah memperlihatkan kemahakuasaanNya sebagai yang tidak terbatas itu. Allah tidak dibatasi dengan cara pandang yang binary, tetapi IA adalah Allah yang tidak terbatas itu dengan berbagai keragaman, IA bisa menciptakan banyak keragaman,” jelas Darwita.
Darwita juga sebelumnya melakukan penelitian tentang teks Alkitab pada kejadian 19, yakni kisah Sodom dan Gomora. Menurut dia, kisah Nantinjo adalah sebagai satu khasanah untuk memperkaya dalam menafsir teks tersebut, bahwa masyarakat Batak mempunyai kisah tentang keragaman gender dan seksualitas, sehingga si pembaca teks tidak terperangkap dalam cara pandang yang binary.(eb-1)
Namboru yang Dipercaya sebagai Penjaga Danau
Pomparan (keturunan) Guru Tatea Bulan/ Si Boru Baso Burning meyakini kalau Nantinjo masih hidup. Rohnya menjaga kawasan Danau Toba dan bersemayam di pulau Tao/Malau yang berada di sekitar Simanindo. Tak heran kalau hingga saat ini ritual khusus masih terus digelar untuk Namboru.
Kabid Seni Budaya, Museum dan Kepurbakalaan, Dinas Kebudayaan dan Pemuda Olahraga Samosir, Tetti Naibaho menyebutkan dalam setiap tahun pada bulan-bulan tertentu, pomparan Guru Tatea Bulan selalu membuat acara untuk namboru Nantinjo. Penyebutan namboru disematkan karena Nantinjo dalam silsilah marga Naimarata merupakan bibi (perempuan yang merupakan keturunan semarga).
“Saya merupakan keturunan Naimarata dari Ibu ku. Hingga saat ini kami yakin kalau namboru masih ada. Maka kalau kami naik kapal dan melintasi Danau Toba, kami selalu mengucapkan ‘permisi Namboru’ karena roh namboru ada dan menjaga Danau,” ujar Tetti.
Keyakinan yang sama juga diungkapkan Lusty Ro Malau, Ketua Komunitas Perempuan Hari Ini di Medan. Lusty menyakini legenda boru Nantinjo merupakan kepercayaan yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Dia juga percaya kalau namboru menjaga kawasan Danau Toba. Bahkan sebagai keturunan Guru Tatea Bulan, dia mengaku sangat bangga. Lantaran berdasarkan garis silsilah marga/boru Malau merupakan anak dari Silau Raja (abang Nantinjo), sehingga Malau memiliki hubungan emosional yang kuat kepada bibinya, namboru Nantinjo.
“Namboru Nantinjo sangat sayang dan ingin melindungi keturunannya, terutama Malau. Saya sangat bangga menjadi keturunannya. Apalagi, dalam kisahnya ada keajaiban datang kepadanya. Namboru diangkat ke langit dan menyatu dengan alam di pulau Malau, kisahnya juga menjadi asal usul terbentuknya pulau Malau,” terang Lusty.
Menurut Lusty meski di satu sisi namboru Nantinjo disebut si dua jambar, tapi bagi Lusty namborunya merupakan sosok yang mandiri. Dia tidak ingin menyusahkan saudaranya sehingga dia menanggung beban hidupnya sendiri. Tak hanya itu, Nantinjo juga memiliki keterampilan dan kecerdasan yang mumpuni, dia mampu menenun dengan hasil yang sangat indah. Sekarang Namboru juga diyakini dapat memberikan pengobatan dan kesembuhan.
Kepercayaan masyarakat kalau Nantinjo merupakan penjaga Danau masih begitu kuat. Hal ini terlihat dari ritual yang senantiasa dilakukan. Seperti ketika terjadi peristiwa tenggelamnya kapal KM Sinar Bangun di perairan Danau Toba pada 18 Juni 2018. Pomparan Guru Tatea Bulan, keturunan marga/boru Malau memanjatkan doa dengan cara kepercayaan Batak Purba, mereka berkomunikasi dengan leluhurnya yang disebut Namboru Nantinjo. Ritual ini bertujuan untuk ‘Mangelek’ atau berdoa kepada Namboru yang diyakini sebagai penjaga Danau.
Narasi tentang legenda Raja Batak termasuk boru Nantinjo sendiri, menurut Tetti menjadi daya tarik pengunjung ke kawasan Danau Toba. Selain keindahan alam, keunikan geologi yang telah menjadi magnet. Wisatawan biasanya akan mengunjungi jejak silsilah Raja Batak di lingkar Pusuk Buhit. Adapun kawasan yang kerap dikunjungi wisatawan yakni Aek Sipitu Dai (sumber air kehidupan), Batu Hobon (tempat penyimpanan harta), perkampungan si Raja Batak dan Parsaktian Raja (SopoGuru Tatea Bulan) di Pusuk Buhit juga Batu Sawan (air suci). “Termasuk pulau Tao/Malau yang dipercaya tempat bersemayamnya namboru Nantinjo. Tapi memang selama pandemi Covid-19 ini, pulau Malau kita tutup dari kunjungan wisatawan,” terang Tetti.
Petugas Penerang dan Pendamping (P3) Batu Sawan, Jonggar Limbong mengatakan, biasanya mereka yang datang mengunjungi situs jejak Raja Batak ini memiliki beragam motivasi. Seperti meminta berkah, menggelar ritual dan berdoa kepada leluhur, berharap kesembuhan dari penyakit, berharap ingin dikarunia anak dan lainnya. Air suci si Raja Batak dari Batu Sawan biasanya dipercaya mampu mengobati dan memberikan kesembuhan.
“Dulu sebelum terjadi pandemik covid-19 ini, pengunjung ke Batu Sawan itu bisa mencapai 100-200 orang per bulan. Tujuannya tentu beragamlah. Tapi sekarang yang datang hanyalah masyarakat lokal sekitar Danau Toba,” ujar Jonggar.
Jonggar sebagai panuturi (penutur) silsilah Raja Batak mengaku resah dengan minimnya pengunjung. Menurutnya, jika kondisi ini terus terjadi lama kelamaan kisah Raja Batak termasuk legenda Nantinjo akan dilupakan. Pesan Nantinjo yang menginginkan keturunannya mengetahui penderitaan hidupnya juga tidak lagi tersampaikan. Keturunannya akan kehilangan dasar dari mana mereka berasal. Padahal narasi silsilah Raja Batak merupakan warisan leluhur masyarakat Sumatera Utara.
Kisah Nantinjo menjadi gambaran bahwa keragaman gender dalam sejarah peradaban Indonesia terutama dalam konteks kedaerahan sudah ditemui sejak dulu. Seperti Bissu yang dipercaya masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan sebagai meta-gender, To Burake Tambolang yang diakui masyarakat Toraja sebagai gender ketiga. Baik Bissu dan To Burake, keduanya merupakan transgender dan pemimpin agama yang sangat dihormati. Sedang Nantinjo, si dua jambar dalam silsilah Raja Batak ini diyakini sebagai penjaga Danau Toba, sosok sakti yang mampu memberi pengobatan dan menyembuhkan. (eb-1)