Pemilu merupakan pesta kemeriahan yang seyogyanya menjadi wujud paling konkret bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya demi demokrasi. Namun, apa cerita kalau Pemilu 2024 menjadi agak laen karena diwarnai berbagai kecurangan dan intervensi kekuasaan yang berpihak pada satu pasangan calon.
Paska Pemilu serentak Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan umum legislatif (Pileg) yang digelar pada 14 Februari 2024, seorang teman jurnalis perempuan di Medan membuat status di media sosialnya : “Agak laen emang Pemilu 2024 ini, kukira kata anomali hanya ada pada perubahan cuaca, ternyata rekapitulasi suara pemilu juga anomali, hadeh”.
Perkara anomali rekapitulasi suara Pilpres 2024 ini mencuat saat ditemukan anomali suara di 154.541 tempat pemungutan suara (TPS). Adapun data anomali itu merupakan angka perolehan suara di dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak sesuai dengan Formulir Model C1-Plano atau catatan hasil penghitungan suara Pemilu 2024.
Penyaji data dalam Film Dirty Vote yang juga Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari saat berdiskusi di Inter Coffee kampus Universitas Sumatera Utara, Minggu (3/3) lalu, menilai perkara rekapitulasi data ini ada unsur niat jahat. Di mana terlihat adanya unsur kelalaian, pembiaran dan kesengajaan.
“Setiap TPS itu paling banyak suara ada 300 plus cadangan, harusnya kalau di Sirekap tiba-tiba data yang masuk lebih dari 300 suara itu harus ditolak, apalagi sistemnya canggih, tapi nyatanya dalam sistem data itu tetap direkam satu TPS bisa 600 suara masuk, ini kan jelas sudah direncanakan dan berniat jahat,” kata Feri.
Feri Amsari dan sutradara Dirty Vote, Dandhy Laksono yang hadir di Medan, lebih lanjut memaparkan tentang kecurangan-kecurangan Pemilu 2024 dalam film tersebut. Film berdurasi hampir dua jam ini ditayangkan pertama kali pada Minggu (11/2) lalu di channel YouTube PSHK Indonesia dan Dirty Vote. Film ini membongkar berbagai desain kecurangan yang diduga terjadi dalam Pemilu 2024. Mulai dari ketidaknetralan pejabat publik, ketidaknetralan kepala Negara dan ibu Negara, penggunaan infrastruktur kekuasaan, hingga pelanggaran etik di lembaga-lembaga negara.
Feri Amsari menyebutkan, dalam Pemilu 2024 telah terjadi coattail effect. Efek ekor jas ini menggambarkan fenomena seorang calon presiden atau pimpinan partai politik yang populer mampu menarik suara calon lain di partainya, atau adanya korelasi dari efek pemilihan presiden atas konfigurasi suara dalam parlemen. Melihat hasil real count KPU, coattail effect ini berupaya mendongkrak perolehan suara anak raja yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI) secara anomali yang diduga terjadi kecurangan atau kesalahan penghitungan. Sebab, sebelumnya PSI telah divonis tak lolos ke DPR RI berdasarkan quick count mayoritas lembaga survei.
Tak cuma itu, praktik Gentong Babi (pork barrel) yakni merupakan usaha petahana untuk menggelontorkan dan mengalokasikan sejumlah dana, dengan tujuan tertentu menjelang Pemilu 2024 juga terjadi. Bentuk penggelontoran dana ini terjadi dengan menyalurkan dan menaikkan bantuan sosial (bansos), kenaikan gaji PNS, polisi militer juga kenaikan tunjangan KPU dan Bawaslu menjelang pemilu jelas sangat sarat politis.
“Ini yang bisa kita sebut sebagai teori sarapan pagi. Orang diberi sarapan pagi dulu untuk mempengaruhi keputusannya. Setiap orang memiliki unsur psikologis, anak muda perlu dipengaruhi dengan mendekatkan konten kreator kepada mereka, masyarakat dipengaruhi dengan bantuan sosial, praktik gentong babi ini udah lama terjadi, tapi yang gila-gilaan di rezim ini,” terang Feri.
Kehadiran film Dirty Vote tentu saja menjadi oase dari dugaan kecurangan yang mengakibatkan penyelanggaraan Pemilu 2024 terasa agak laen. Terutama terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia Capres dan Cawapres yang memaksakan anak raja untuk bisa masuk dalam Pilpres jelas sangat mengecewakan masyarakat dan mencederai demokrasi.
Meskipun Feri Amsari maupun Dandhy Laksono menyebut film Dirty Vote dibesut bukan bermaksud untuk mentrigger masyarakat dalam mengubah keputusan politiknya. Namun, film yang dirilis menjelang Pilpres dan Pileg 2024 ini sarat akan pembelajaran politik. Di masa anomali politik, Pemilu 2024 yang agak laen, kita perlu tahu pentingnya integritas dan kejujuran dalam politik.
Jika ditanya saat ini apakah Saya menyesal sebelumnya tidak memilih golput saja, melihat hasil Pemilu 2024 yang tidak sesuai harapan, jawabannya tentu saja tidak. Sebab, saya menyadari pentingnya tetap menyuarakan hak politik untuk memilih pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab. (lia anggia nasution)